Anak-anak
muda jaman sekarang mungkin tidak banyak yang mengerti arti judul di atas.
Pepatah jawa yang pernah dikemukakan oleh Prof. Mr. Djojodigeono itu komplitnya
berbunyi ; “Semu Bupati, Esem mantri,
Dupak Bujang” yang mengandung arti
bahwa seorang bupati akan mengerti kemasgulan hati atasannya hanya dari melihat
rona wajah sang atasan.
Sementara seorang Mantri yang pangkatnya lebih rendah
dari Bupati harus melihat senyum atasannya untuk memastikan apakah atasannya
marah atau tidak. Senyum memang lebih kongkrit daripada semu. Seorang Bujang
(pembantu laki-laki)yang derajatnya tentu saja paling rendah diantara para
pejabat-pejabat itu semua, perlu tindakan lebih kongkrit lagi (kalau tidak bisa
dikatakan kasar), agar dia bisa mengetahui kemarahan sang majikan, dia perlu
‘didupak’ (disepak).
Pepatah
itu sebenarnya mempunyai arti lebih dalam lagi kalau kita lihat dari sisi
kejiwaan. Karena sebenarnya bukan derajat bupati, mantri atau bujang yang
dipermasalahkan, melainkan ‘kepekaan’ perasaan seseorang untuk mengetahui apa
yang diinginkan oleh orang lain. Semakin halus perasaan seseorang, semakin mudah
dia menyesuaikan diri dengan lingkungan dan semakin mudah dia menyikapi
hidupnya. Bagi orang demikian, kejadian di dunia yang menimpa orang lain sudah
cukup menjadi hatinya terusik untuk membaca keadaan. Dunia baginya adalah buku
ceritera yang terbuka lebar dengan huruf yang mudah dibaca dengan alur ceritera
yang mudah di pahami.
Nah,
bagi para umat yang mengaku ber-Tuhan kepada Tuhannya semestinya jauh lebih
peka dari sekedar melihat ‘semu’ karena
sebenarnya kita dengan mudah dapat membaca semua ajaranNya dalam buku-buku
keagamaan yang dapat kita peroleh tanpa susah-susah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jangan lupa Follow mas bro & mbak sist