A. Susunan
Formulasi Pestisida
Bahan aktif
pestisida tidak dijual begitu saja dalam bentuk murni, melainkan harus
diformulasikan terlebih dahulu dengan cara dicampur bahan-bahan lain agar mudah
diaplikasikan, Secara garis besar, formulasi pestisida yang diperdagangkan
umumnya terdiri dari 3 bagian, yaitu bahan aktif, bahan pembantu, dan bahan
pembawa.
1.
Bahan Aktif
Bahan aktif
merupakan senyawa kimia atau bahan-bahan lain yang memiliki efek sebagai
pestisida. Bahan aktif pestisida dapat berbentuk padatan, cair, dan gas. Bahan
aktif yang digunakan dalam produksi komersil disebut bahan aktif teknis.
Bahan aktif yang
biasanya digunakan dalam formulasi berasal dari bahan aktif teknis dalam bentuk
aslinya, yang kemudioan dicampur dengan bahan pembantu dan bahan pembawa. Namun
beberapa bahan aktif kimia sintetik dalam bentuk aslinya terutama herbisida
yang bahan aktifnya berbentuk asam sering sulit diformulasikan. Oleh karena itu
bahan aktif seperti ini sering menggunakan bentuk garam atau ester.
2.
Bahan Pembantu
(Adjuvant)
Bahan pembantu merupakan
bahan-bahan atau senyawa kimia yang ditambahkan ke dalam pestisida dalam proses
formulasinya agar mudah diaplikasikan atau digunakan untuk memperbaiki efikasi
pestisida tersebut. Bahan-bahan pembantu yang sering ditambahkan pada formulasi
antara lain:
a.
Solvent
Solvent adalah bahan cair pelarut misalnya alkohol, minyak tanah, xylene
dan air. Solvent ditambahkan ke dalam formulasi untuk melarutkan bahan
aktik karena bahan aktif pestisida tidak larut dalam air atau minyak. Beberapa
contoh solvent organik yang
biasa digunakan yaitu asetonitril, aseton, diklorometan, etanol, etilasetat,
heksan, methanol, toluene, dan xylene.
b.
Diluent
Diluent umumnya ditambahkan ke dalam formulasi untuk membantu melarutkan
atau membawa bahan aktif. Beberapa contoh adalah silica gel, hydrated alumunium
oxide dan kalsium silikat.
c.
Suspension Agent
Suspension
Agent adalah bahan pembantu yang
digunakan untuk membantu pembentukan suspensi, umumnya dicampurkan dalam
formulasi WP. Suspension Agent ini
membantu pestisida dalam bentuk tepung untuk tidak cepat mengendap.
d. Emulsifier
Emulisifier adalah bahan pembantu yang digunakan untuk membantu pembentukan
emulsi. Emulsifier merupakan bahan
detergen yang akan memudahkan terjadinya emulsi bila bahan minyak diencerkan
dalam air. Umumnya ditambahkan ke dalam formulasi EC.
e. Buffer
Buffer
merupakn
bahan kimia yang ditambahkan ke dalam formulasi untuk menstabilkan pH formulasi
pestisidan antara 5,5 – 7. Umumnya adalah campuran asam lemah dengan garamnya,
misalnya CH3COOH (asam lemah) plus
CH3COONa (garam natrium).
f.
Surfactant
Surfactant membantu membasahi bidang sasaran dengan cara menurunkan tegangan
permukaannya. Dengan demikian maka butiran semprot akan lebih mudah menempel
pada bidang sasaran.
g. Sticker
Sticker membantu merekatkan butiran semprot pada bidang sasaran dengan
cara meningkatkan adhesi partikel ke bidang sasaran. Sticker menurunkan
kemungkinan pestisida luruh atau tercuci akibat hujan. Beberapa diantaranya
juga mengurangi penguapan.
h. Plant
Penetrants
Plant
Penetrants mampu
meningkatkan penetrasi beberapa pestisida ke dalam jaringan tanaman tertentu. Umumnya digunakan untuk bahan aktif pestisida
dan tanaman yang spesifik.
i.
Tickener
Tickener berfungsi untuk meningkatkan kekentalan larutan semprot. Digunakan
untuk mengendalikan butiran semprot terbawa angina dan menghambat penguapan. Kebanyakan pestisida hanya akan mampu
menembus kulit daun tanaman selama pestisida tersebut dalam bentuk larutan.
Jika kering pestisida tidak lagi mampu menembus jaringan tanaman, Tickener
inilah yang memecahkan masalah tersebut.
j.
Deforming Agent
Deforming
Agent digunakan sebagai penghambat
terbentuknya busa pestisida jika dituang atau diaduk dalam tanki, biasanya
digunakan dalam jumlah kecil.
k. Safener
Safener merupakan bahan yang ditambahkan untuk mengurangi fitotoksik dari
pestisidaterhadap tanaman.
l.
Synergist
Synergis, sejenis bahan yang dapat meningkatkan daya racun, walaupun bahan
itu sendiri mungkin tidak beracun, seperti sesamin (berasal dari biji wijen), dan
piperonil butoksida.
3.
Bahan Pembawa
(Carrier)
Bahan pembawa
digunakan untuk menurunkan konsentrasi produk pestisida, tergantung pada cara
penggunaan yang diinginkan. Bahan pembawa bisa berupa air (pada water basedformulation), minyak (pada oil based formulation), talk,
attapulgit, bentonit, tepung diatomae (pada formulasi tepung), pasir (pada
formulasi butiran), dan sebagainya. Sebagai contoh, formulasi WP (wettable powder) tersusun atas bahan
aktif, sistem solvent, carrier yang sangat
adsobtif, diluent, deactivator, wetting agent, dispersant,
dan sticker.
B.
Kode Formulasi pada Nama
Dagang
Adapun
prinsip pemberian nama dagang sebagai berikut:
1. Jika diformulasikan dalam bentuk padat (misalnya tepung dan
butiran), angka dibelakang nama dagang menunjukkan kandungan bahan aktif dalam
persen. Sebagai contoh herbisida Karmex 80 WP mengandung 80% bahan aktif
(diuron) dan diformulasikan dalam bentuk WP (tepung yang bisa disuspensikan
dalam air)
2. Jika formulasinya dalam bentuk cair, angka di belakang nama
dagang menunjukkan jumlah gram atau mililiter bahan aktif untuk setiap liter
produk. Sebagai contoh, fungisida Score 250 EC mengandung 250 ml bahan aktif
(difenokonazol) dalam setiap liter produk Score 250 EC.
3. Jika produk tersebut mengandung lebih dari satu macam bahan
aktif maka kandungan bahan – bahan aktifnya dicantumkan semua dan dipisahkan
dengan garis miring. Sebagai contoh, fungisida Ridomil Gold MZ 4/64 WP
mengandung bahan – bahan aktif metalaksil-M 4% dan mankozeb 64% dan diformulasikan
dalam bentuk WP.
C.
Kode Formulasi Pestisida
Global Crop Protection Federation (GCPF;
Federasi Perlindungan Tanaman Dunia, sekarang Croplife International) telah menyusun kode standart untuk menandai
berbagai macam formulasi pestisida (GCPF,1999). Dibawah ini diberikan beberapa
formulasi yang sering ditemukan di Indonesia.
A.
Sediaan (Formulasi) Cair.
1.
Emulsifiable Concentrate atau
Emulsiable Concentrate (EC)
EC merupakan
sediaan berbentuk pekatan (konsentrat) cair dengan kandungan (konsentrasi)
bahan aktif yang cukup tinggi. EC umumnya digunakan dengan cara disemprotkan.
Bersama formulasi WP, formulasi EC merupakan formulasi klasik yang paling
banyak digunakan saat ini.
Kelebihan
formulasi EC sebagai berikut:
- Konsentrasi tinggi
yang berarti harga persatuan berat bahan aktif relatif murah.
- Dalam penggunaannya
memerlukan sedikit pengadukan.
- Tidak atau sedikit
meninggalkan “residu yang tampak” pada bidang sasaran.
Kelemahan
formulasi EC sebagai berikut:
- Konsentrasi tinggi
juga berarti mudah menimbulkan overdosing
karena kesalahan kalibrasi.
- Resiko terjadinya
fitotoksik lebih besar.
- Mudah diserap kulit
manusia.
- Solvent bisa merusak selang karet, bagian – bagian pompa sprayer, dan bagian lainnya.
- Kemungkinan korosif.
2.
Solube Concentrate in Water (SCW) atau
Water Solube Concentrate (WSC)
Formulasi ini mirip EC, tetapi karena menggunakan sistem solvent berbasis air maka konsentrat ini
jika dicampur air tidak membentuk emulsi, melainkan akan membentuk larutan
homogen. Umumnya, sediaan ini diaplikasikan dengan cara disemprotkan.
3.
Aquaeous Solution (AS) atau Aquaeous Concentrate (AC)
AS dan AC merupakan pekatan yang bisa dilarutkan dalam air.
Pestisida yang diformulasikan dalam bentuk AS atau AC umumnya berupa pestisida
berbahan aktif dalam bentuk garam yang memiliki kelarutan tinggi dalam air.
Pestisida yang diformulasikan dalam bentuk ini digunakan dengan cara
disemprotkan. Formulasi AS juga bisa mengacu pada formulasi aquaeous suspensions.
4.
Solube liquid (SL)
SL merupakan pekatan cair. Jika dicampur air, pekatan cair ini
akan membentuk larutan. Pestisida ini juga digunakan dengan cara disemprotkan.
SL bisa mengacu pada formulasi slurry.
5.
Flowable (F) atau Flowable in Water (FW)
Formualsi F
atau FW berbentuk konsentrasi cair yang sangat pekat (mendekati pasta, tetapi masih bisa dituangkan. Jika
dicampurkan air, sediaan ini akan membentuk suspensi (partikel padat yang
melayang dalam media cair) seperti halnya WP. Pada dasarnya FW adalah WP yang dibasahkan.
Keuntungan
formulasi flowable, diantaranya:
- Jarang menyumbat nosel,
- Penanganan dan aplikasinya mudah dilakukan, dan
- Tidak memercik (bandingkan dengan EC).
Kelamahan
formualsi flowable, diantaranya:
- Membutuhkan pengadukan terus menerus, dan
- Sering meninggalkan residu yang tampak pada bidang sasaran.
6.
Ultra Low Volume (ULV)
Sediaan ini
merupakan sediaan khusus untuk penyemprotan dengan volume ultra rendah, yaitu
volume semprot antara 1-5 liter/hektar. Formualsi ULV umumnya berbasis minyak
karena untuk penyemprotan dengan volume ultra rendah digunakan butiran semprot
yang sangat halus.
7.
Micro-encapsulation
Micro-encapsulation merupakan bentuk formulasi yang relatif baru, yaitu partikel
pestisida (baik cair atau padat) dimasukkan dalam kapsul (semacam selubung
plastik yang larut dalam air) berukuran sangat kecil (lebih kecil dari diameter
rambut manusia). Bentuk mikrokapsul juga bisa dibuat menjadi formulasi CF (capsule suspensions for seed treatment),
yaitu bentuk mikrokapsul khusus untuk perawatan benih.
B.
Sediaan Padat
1.
Wettable Powder (WP)
Formulasi WP bernama EC merupakan formulasi klasik yang masih
banyak digunakan hingga saat ini. WP merupakan sediaan berbentuk tepung (ukuran
partikel beberapa mikron) dengan kadar bahan aktif relatif tinggi (50-80%),
yang jika dicampurkan dengan air akan membentuk suspensi. Pengaplikasian WP
dengan cara disemprotkan.
Kelebihan
penggunaan formulasi WP sebagai berikut:
- Relatif murah.
- Resiko fitotoksisitas lebih rendah (dibandingkan EC dan
formulasi cair lainnya).
- Kurang diserap oleh kulit (dibandingkan dengan formulasi cair).
Kelemahan
penggunaan formulasi WP sebagai berikut:
- Menimbulkan debu ketika dituang (bahaya inhalasi).
- Memerlukan pengadukan secara terus – menerus.
- Bersifat abrasif.
- Bisa meninggalkan residu yang tampak pada bidang sasaran.
2. Soluble Powder (S atau SP)
Formulasi
berbentuk tepung yang jika dicampur air akan membentuk larutan homogen.
Digunakan dengan cara disemprotkan.
3. Butiran (Granule, G)
Umumnya
butiran merupakan sediaan siap pakai dengan konsentrasi bahan aktif rendah
(sekitar 2%). Ukuran butiran bervariasi antara 0,7-1 mm. Pestisida butiran
umumnya digunakan dengan cara ditaburkan dilapangan (baik secara manual maupun
dengan mesin penabur). Formulasi butiran biasanya hanya digunakan pada bidang
pertanian sebagai insektisida sistemik. Dapat digunakan bersamaan waktu tanam
untuk melindungi tanaman pada umur awal. Komposisi pestisida butiran biasanya
terdiri atas bahan aktif, bahan pembawa yang terdiri atas talek dan kuarsa
serta bahan perekat. Komposisi bahan aktif biasanya berkisar 2-25 persen,
dengan ukuran butiran 20-80 mesh. Aplikasi pestisida butiran lebih mudah bila
dibanding dengan formulasi lain. Pestisida formulasi butiran di belakang nama
dagang biasanya tercantum singkatan G atau WDG (water dispersible granule).
Kelebihan
formulasi butiran seperti berikut:
- Siap pakai sehingga tidak perlu mencampur.
- Tidak memerlukan drift,
tidak berdebu, dan tidak memercik.
- Tidak mudah diserap kulit.
- Tidak memerlukan alat aplikasi yang rumit.
Kelemahan
formualsi butiran seperti berikut:
- Lebih mahal (dibandingkan ECV atau WP).
- Memerlukan pengolahan tanah setelah penaburan.
- Memerlukan kondisi tertentu (misalnya kelembaban tanah) agar
aktif.
4. Water Dispersible Granule (WG atau WDG);
Dry Flowable (DF)
WDG atau WG
berbentuk butiran, mirip G, tetapi penggunaannya sangat berbeda. Formulasi
WG/WDG harus diencerkan terlebih dahulu dengan air dan digunakan dengan cara
disemprotkan. WDG juga sering disebut sebagai dry flowable (DF). Keuntungan formulasi WDG (dan SG) yaitu:
- pengukuran dan
pencampurannya mudah, dan
- risiko bagi keselamatan pengguna lebih kecil (tidak memercik dan
tidak berdebu).
5. Solube Granule (SG)
SG (solube
granule) mirip dengan WG yang juga harus diencerkan dalam air dan digunakan
dengan cara disemprotkan. Bedanya, jika dicampur air, SG akan membentuk larutan
sempurna.
6. Tepung
Hembus (Dust;D)
Komposisi pestisida formulasi debu ini biasanya terdiri atas bahan
aktif dan zat pembawa seperti talek. Dalam bidang pertanian pestisida formulasi
debu ini kurang banyak digunakan, karena kurang efisien. Hanya berkisar 10-40
persen saja apabila pestisida formulasi debu ini diaplikasikan dapat mengenai
sasaran (tanaman).
Sediaan siap
pakai (tidak perlu dicampur dengan air) berbentuk tepung (ukuran partikel 10-30
mikron) dengan konsentrasi bahan aktif rendah (2%) digunakan dengan cara
dihembuskan (dusting).
7. Seed Dressing (SD) atau Seed Treatment (ST)
SD dan ST
adalah formulasi khusus berbentuk tepung atau cairan yang digunakan dalam
perawatan benih.
8. Umpan Bait (B) atau Ready Mix Bait (RB atau RMB)
Umpan
merupakan bentuk sediaan yang paling banyak digunakan dalam formulasi
rodentisida untuk mengendalikan hama
berupa binatang besar (tikus, babi hutan). RB atau RMB merupakan umpan siap
pakai (sudah dicampur pakan, misalnya beras); sedangkan B harus dicampur
sendiri oleh pemakaianya.
Sebagai
contoh, insektisida berbahan aktif permetrin di Indonesia pada tahun 1997
dijual dalam formulasi dan nama dagang berikut:
EC : Ambush 2 EC,
Corsair 100 EC, Dessin 5 EC, Dragnet 380 EC, Obatim 100 EC, Permet 100 EC,
Pounce 20 EC, Tibora 200 EC
WP : Perigen 25 WP
ULV : Ambush 2 ULV,
Corsair 50 ULV
Dust : Perigen 0,5 D
L : Cuprinol 118
L
Sumber:
Rudy C Tarumingkeng, PhD. PESTISIDA
DAN PENGGUNAANNYA. http://www.rudyct.com/TOX/PESTISIDA.htm.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jangan lupa Follow mas bro & mbak sist