Setiap hari saya menggunakan sepeda motor untuk beraktivitas. Selain lebih
hemat, memakai sepeda motor jauh lebih praktis daripada menggunakan mobil.
Motor bisa menembus kepadatan jalan di Palembang yang semakin menjadi saja,
terutama pagi dan sore hari saat pulang beraktivitas. Memang kemacetan di
Palembang belum separah di Jakarta, tetapi lebar jalan yang sempit dan jumlah
kendaraan yang melimpah membuat Palembang makin kurang nyaman berkendaraan.
Motor saya yang setia adalah Yamaha Vega R 110cc tahun 2005. Dialah yang
menemani saya pergi ke mana saja, ke kampus, ke pasar, ke swalayan, ke sekolah
anak, ke tempat kawinan, dan lain-lain. Tidak banyak dosen UNSRI yang memakai
motor ke kampus, saya tahu hanya beberapa orang saja, termasuk saya sendiri.
Karena cukup lama menjadi biker di jalanan, saya menjadi lebih tahu
tentang kisah-kisah pengendara motor. Menurut pengamatan saya, sebagian
pengendara mobil (jadi tidak semuanya) ada yang suka memandang rendah
pengendara motor. Sikap memandang rendah itu disebabkan karena pemilik mobil
tersebut mengasosiasikan pengendara motor dengan status sosialnya. Pengendara
motor diidentikkan sebagai karyawan kantor, sales, buruh pabrik, guru, dan
masyarakat kelas menengah bawah lainnya yang diidentikkan tidak mampu membeli
mobil. Padahal tidak semua begitu kan, banyak orang yang memakai motor karena
alasan-alasan praktis seperti yang saya sebutkan di atas. Karena bikers dianggap
masayarakat kelas dua, maka pemilik mobil sering menunjukkan arogansinya dengan
mengklakson keras-keras sambil memaki-maki bikers yang dianggap
menghalangi laju mobilnya. Saya yang sering melihat kejadian itu hanya bisa
geleng-geleng kepala prihatin dengan sikap arogan tersebut.
Namun, sikap memandang rendah itu tidak bisa disalahkan sepenuhnya kepada
pemilik mobil. Para bikers juga punya andil membuat para pemilik mobil
sering marah-marah. Bikers yang nakal suka menyalip mobil sehingga
membuat pemilik mobil mengerem mendadak diikuti sumpah serapah kepada
pengendara motor tersebut. Pernah juga saya melihat seorang pengendara motor
menyenggol kaca spion mobil tanpa meminta maaf. Pemilik mobil yang tersinggung
mengklakson pengendara motor tersebut sambil terus mengejarnya. Pemilik mobil
yang marah atas ulah biker memang ada yang mengejar biker sampai
ketemu kemudian menghajarnya.
Para pengendara motor, meskipun dianggap pemakai jalan kelas dua, namun
mereka punya solidaritas yang membuat saya terharu. Sesama biker mereka
akan saling mengingatkan. Misalnya jika ada biker yang lupa menaikkan
standard (penopang kendaraan) padahal sedang melaju, maka biker lain
yang melihatnya akan berteriak mengingatkan: “standard!”, kata mereka sambil
menunjuk kepada standard. Begitu juga kalau berhenti di lampu merah, mereka
akan saling memberi tempat kepada biker lain agar berada di barisan
depan. Pada musim hujan, solidaritas sesama biker itu semakin kelihatan.
Sama-sama senasib sependeritaan di bawah guyuran hujan, mereka saling
mengingatkan untuk hati-hati.
Kalau ada razia polisi, biker mengingatkan biker lainnya yang
masih jauh bahwa ada razia. Siapa tahu biker yang ini tidak memakai
helm, tidak membawa STNK, atau platnya sudah kadaluarsa. Sudah menjadi rahasia
umum kalau polisi di jalan suka mencari-cari kesalahan pengendara motor untuk
ditilang, selanjutnya anda bisa mengerti ke mana arahnya, he..he.
Para biker itu tidak kenal satu sama lain, tetapi di jalan mereka
seperti bersaudara saja. Rasa persaudaraan yang kuat itu akan makin nyata
ketika pas musim mudik lebaran. Kebanyakan para pekerja urban memilih mudik
dengan motor. Mereka bagaikan pemain sirkus karena membawa anak, istri, dan
barang-barang dalam satu motor. Berbahaya, memang, tetapi kalau mau hemat biaya
dan cepat ya terpaksa begitu. Di jalanan mereka bertemu dengan sesama biker lain
yang juga mudik. Secara berkonvoi mereka melaju bersama-sama di jalan lintas
timur Indralaya-Palembang. Kalau sudah lelah, mereka juga berhenti bersama-sama
untuk istirahat. Jika ada biker yang mengalami masalah dengan motornya
sehingga terpaksa berhenti, biker lain tanpa diminta tolong ikut
berhenti dan menanyakan kesulitan apa.
Begitulah ikatan solidaritas yang tumbuh pada sesama biker. Tidak
saling kenal tetapi merasa senasib di jalanan. Sangat menarik menikmati dan
menyaksikan fenomena sosial masyarakat kita ini.
Keep Adventure...
Salam Adventure...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jangan lupa Follow mas bro & mbak sist